It cannot be denied that the Chief, once, was a meek man. Once, the Chief was a young man with a sound head. He went to the movies every Sunday. He was a good student (a vocational school for machinists and boilermen, which turned out to be very useful in his job as a burglar). Rumor has it that he respected all girls. He respected them lovingly. All of them. Even the biggest sluts. In fact, at the time, nobody called him "Chief". At that time, the Chief read love poems. He read Byron. He shivered for lines by Lorca. At night, also, he looked at the stars and dreamed who knows what. But he always dreamed it respectfully. How he changed, nobody can say. If anybody can say, we don't know him.







Tidaklah dapat dibilang tidak bahwa si Ketua, sebelumnya, adalah seseorang yang halus. Waktu itu, si Ketua adalah seorang jaka dengan logis yang waras. Dia pergi untuk menonton filem setiap hari Minggu. Dia adalah seorang murid yang bagus (sekolah khusus untuk masinis-masinis dan pertukangan, yang nantinya menjadi berguna untuk kerjaannya sebagain perampok). Kabar angin memberitakan bahwa dia menghormati semua wanita. Dia menghormati mereka dengan cinta. Semuanya. Walaupun wanita-wanita tuna susila. Kenyataannya, pada waktu itu, tidak seorangpun yang memanggil dia "si Ketua". Waktu itu, si Ketua membaca sajak-sajak cinta. Dia membaca Byron. Dia tergugah dengan kalimat-kalimatnya Lorca. Pada malam hari, dia memandang bintang-bintang dan mengimpikan sesuatu yang tidak seorangpun mengetahui. Tetapi dia selalu mengimpikan dengan hormat. Bagaimana dia berubah, tak seorangpun bisa bilang. Kalau ada orang yang bisa bilang, kita tidak tahu dia.



©1997 Paulus Trisnadi
interface, interaction & information designer
purple@digitalgap.com















PASSAGES Home